Seorang pemuda berkeinginan untuk menikah. Seperti pemuda-pemuda lainnya ia mendambakan istri yang cantik jelita. Gambarannya tentang calon istri amat sempurna. Hidung mancung, kulit putih bersih, tubuh semampai, dan pandangan mata yang teduh. Cantik dan ayu.
Belum sempat dia menemukan calon istri idamannya, keluarganya telah menjodohkannya. Mereka mengatakan bahwa calon istrinya ini sangat ideal. Dia cantik dan amat serasi dengannya. Sungguh merugi jika tidak diterima.
Dia memutuskan untuk menikah dengan wanita pilihan keluarganya itu. Yakin atas pilihan mereka bahkan ia merasa tak perlu nadzar (melihat calon pasangan) terlebih dahulu. Toh sejumlah “santri” juga menikah seperti itu.
Tapi kenyataan rupanya tak seperti yang dia dambakan. Istrinya tak cantik seperti impiannya. Rona kebahagiaan yang semula mengembang tiba-tiba menghilang diganti dengan garis kesedihan.
“Barangkali dalam keburukan tersimpan kebaikan!” kata istrinya menghibur.
Pemuda itu mencoba bertahan dan menerima. Satu hari .. dua hari .. tiga hari .. ia masih bisa bertahan. Akan tetapi di hari ke empat ia tak lagi mampu menjalaninya. Dia pergi meninggalkan sang istri!
Setelah sekian lama di rantau ia pun pulang kampung. Banyak kenangan di sana yang membuatnya merindu. Ia memasuki masjid di desanya. Seorang pemuda tengah memberi pengajian dengan sangat menarik. Jamaah yang memenuhi masjid mendengarkan dengan khidmat. Pemuda itu tampaknya merupakan sosok idola.
“Siapakah pemuda itu?” tanya dia kepada seseorang yang berada di sampingnya.
“Dia adalah fulan bin fulan. Fulan ayahnya lama pergi dan hingga sekarang belum kembali,” jawab orang itu.
Mendengar jawaban demikian hatinya bergetar. Maka usai pengajian dia menghampiri sang pemuda idola. Ia menjabat tangannya dengan sangat hangat dan dengan mata yang mengembun.
“Anak muda, bolehkan saya ikut mengantarkan dirimu pulang?” pintanya dengan hati-hati.
“Mari silahkan, Bapak ..” jawab pemuda itu sambail berdiri.
Anak muda dan bapak itu berjalan menuju rumah si pemuda. Sampai di depan pintu, bapak itu berkata:
“Saya menghantarkan sampai di sini saja. Sampaikan kepada ibumu: barangkali dalam keburukan tersimpan kebaikan!”
Pemuda itu masuk ke rumah menemui ibunya, lalu menyampaikan pesan sang bapak di luar. Mendengar itu ibunya berkaca-kaca, dan katanya seketika:
“Jemput Bapak itu! Dia adalah ayahmu!”
Ibu itu sungguh luar biasa. Ketika ditinggal suaminya ternyata dia dalam keadaan hamil. Biar pun begitu, dia selalu bercerita yang baik-baik tentang suaminya kepada anaknya. Ia tak ingin anaknya memiliki persepsi buruk tentang ayahnya. Biarlah yang pahit dia simpan dalam hati, dan yang baik-baik ia bagikan kepada anaknya. Ibu itu hanya memikirkan yang terbaik buat putranya.
oleh Abdul Ghofur Maimoen
Belum sempat dia menemukan calon istri idamannya, keluarganya telah menjodohkannya. Mereka mengatakan bahwa calon istrinya ini sangat ideal. Dia cantik dan amat serasi dengannya. Sungguh merugi jika tidak diterima.
Dia memutuskan untuk menikah dengan wanita pilihan keluarganya itu. Yakin atas pilihan mereka bahkan ia merasa tak perlu nadzar (melihat calon pasangan) terlebih dahulu. Toh sejumlah “santri” juga menikah seperti itu.
image source : https://inadwiana.wordpress.com/2012/02/05/istri-sholehah/
Tapi kenyataan rupanya tak seperti yang dia dambakan. Istrinya tak cantik seperti impiannya. Rona kebahagiaan yang semula mengembang tiba-tiba menghilang diganti dengan garis kesedihan.
“Barangkali dalam keburukan tersimpan kebaikan!” kata istrinya menghibur.
Pemuda itu mencoba bertahan dan menerima. Satu hari .. dua hari .. tiga hari .. ia masih bisa bertahan. Akan tetapi di hari ke empat ia tak lagi mampu menjalaninya. Dia pergi meninggalkan sang istri!
Setelah sekian lama di rantau ia pun pulang kampung. Banyak kenangan di sana yang membuatnya merindu. Ia memasuki masjid di desanya. Seorang pemuda tengah memberi pengajian dengan sangat menarik. Jamaah yang memenuhi masjid mendengarkan dengan khidmat. Pemuda itu tampaknya merupakan sosok idola.
“Siapakah pemuda itu?” tanya dia kepada seseorang yang berada di sampingnya.
“Dia adalah fulan bin fulan. Fulan ayahnya lama pergi dan hingga sekarang belum kembali,” jawab orang itu.
Mendengar jawaban demikian hatinya bergetar. Maka usai pengajian dia menghampiri sang pemuda idola. Ia menjabat tangannya dengan sangat hangat dan dengan mata yang mengembun.
“Anak muda, bolehkan saya ikut mengantarkan dirimu pulang?” pintanya dengan hati-hati.
“Mari silahkan, Bapak ..” jawab pemuda itu sambail berdiri.
Anak muda dan bapak itu berjalan menuju rumah si pemuda. Sampai di depan pintu, bapak itu berkata:
“Saya menghantarkan sampai di sini saja. Sampaikan kepada ibumu: barangkali dalam keburukan tersimpan kebaikan!”
Pemuda itu masuk ke rumah menemui ibunya, lalu menyampaikan pesan sang bapak di luar. Mendengar itu ibunya berkaca-kaca, dan katanya seketika:
“Jemput Bapak itu! Dia adalah ayahmu!”
Ibu itu sungguh luar biasa. Ketika ditinggal suaminya ternyata dia dalam keadaan hamil. Biar pun begitu, dia selalu bercerita yang baik-baik tentang suaminya kepada anaknya. Ia tak ingin anaknya memiliki persepsi buruk tentang ayahnya. Biarlah yang pahit dia simpan dalam hati, dan yang baik-baik ia bagikan kepada anaknya. Ibu itu hanya memikirkan yang terbaik buat putranya.
oleh Abdul Ghofur Maimoen