Saturday, March 23, 2013

Senja dan Lelaki Sepi

Suatu senja di bibir pantai Parangtritis cakrawala biru perlahan berbaur dengan semburat jingga. Ombak berlarian menggiring buih ketepian dan mendamparkanya diantara bukit pasir. Aku kembali merasakan sunyi mengekang jiwaku. Tepat di sinilah puluhan tahun aku berdiri dalam penuh sesak hembus angin dan sorak burung camar. Orang-orang berwarna jingga karna pancaran matahari. Mereka tertawa penuh canda sembari berkejaran, menggandeng, memeluk dan mencumbu kekasihnya. Bukanlah aku jika tak memandang matahari dengan ungkapan penuh amarah. Menatap wajah matahari yang kian layu, sedangkan drama tentang malam akan segera dimulai. Akan kulihat rembulan dan ilalang yang memandangku sinis. Berpasang anak muda saling berpangut di bawah purnama dan kerlip bintang yang seperti deretan liontin. Hingga kesendirianku kembali nyata di tengah malam yang luas.
Source Image 
Jambakscorner.blogspot.com 

Tiba waktuku untuk memberi harapan debur ombak dan kepul sebatang rokok untuk memberangus wajahku. Perlahan dengan laju waktu yang menyayat luka sedangkan ia tak mengindahkan apapun dan kepul asap itu menyesakkan nafas, membatasi tiap udara yang ingin berkunjung pada rongga dadaku. Masih pada senja aku berdiri. Berhadapan dan saling menatap, kami serupa kesatria yang akan berperang hingga merasai jiwaku kian membara. Kini matahari hanya separuhnya saja yang bertengger namun kurasakan semakin panas dan hampir membrangus kepalaku. Kupandangi matahari jingga dan wanita yang amat ku kenal berlenggang menghadap ke arahku. Masih bisa kulihat pancaran senyumnya walau ia tak tertawa bersamaku. Masih bisa aku menatap wajahnya yang ayu dibelai warna jingga. Masih bisa kulihat kerlingan matanya yang seperti kilau hamparan samudra. Aku masih bisa menatap semua itu walaupun kini dua orang laki-laki sudah menemaninya. Seorang pria dewasa dan seorang lagi masih balita hingga harus digendong untuk menikmati panorama pantai yang senja.

Sebuah kekeliruanku memang, saat kekaguman dan kerinduan kubiarkan menyiksa relung hati. Hingga ia ku jadikan sosok tempat terindah yang kumiliki walau aku tak pernah menyapanya sebagai kekasih. Aku terlalu larut dalam kekagumanku hingga ia benar-benar pada titik dimana aku harus benar-benar pergi dan meninggalkan semua yang menyertainya. Kini yang akan kulakukan adalah menenggelamkan seluruh hidupku kedalam sunyi.

Tiba-tiba sebuah seruan membuyarkan lamunanku.
“Joko, itu kamu?” tanya seorang wanita yang dulu pernah membuatku separuh gila. “hahaha, ku kira kau sudah lupa” aku tertawa menahan gejolak yang menyesakkan. Masih pada senja kami bercakap-cakap. Kupandangi wajahnya yang tak terlalu berbeda semenjak kami sama-sama lulus menjadi sarjana pendidikan. Raut wajahnya masih menceritakan bagaimana aku pernah menggambarkanya sebagai semesta. Sebagai rerimba yang misterius ataupun sebagai samudra yang menyimpan sejuta makna.

Pencarianku berakhir pada cahaya yang tumpah ruah di matanya. Warnanya coklat kemerahan. Seolah mengembalikan sepotong episode masa lalu. Aku tahu bukan dalam cerita aku menyapanya. Bukan dalam ungkapan suka cita. Bukan pada malam purnama yang digelayuti gerimis. Aku menemuinya pada sajak yang utuh.

Sampai kulayangkan pandang pada bangku yang kutemui di seberang senja di bibir pantai Parangtritis. Butiran pasir dan beberapa debur ombak sesekali menyapu dan hinggap di kaki kami. Memang kini aku tak sendirian menikmati senja namun kehadiran wanita itu justru merambah pada kesunyian. Raut seorang pria yang sejak dari tadi membisu dalam perbincangan kami sepertiya sudah tidak asing lagi. Ya tentu saja. Dia teman sekelasku dulu waktu kuliah. Teman yang aku kenalkan pada wanita yang mampu menyiksaku dengan rasa rindu. Teman yang menjadi pendamping hidupnya sekarang hingga mereka dikaruniai seorang bayi laki-laki yang penuh pesona seperti ibunya.

Entah karna udara yang dingin, entah karna memang matahari hampir tenggelam namun sapaan itu mengingatkanku pada kisah-kisah para pengecut yang tak berani mengutarakan pendapatnya, mengutarakan kebenaran.

Senja telah aku lewati dan sebentar lagi akan ada drama tentang malam. Tentang keberadaanku yang sebengis kematian atau memang aku yang membiarkan waktu untuk membakar wajahku pada siang yang terik. Aku lengah pada hidupku, aku lengah dan lelah. Hingga tiada keindahan yang tepat aku singgahi kecuali kesendirian dalam senja yang hampir tenggelam.

Source: copas tanpa izin, dari akun kompasiana Arif Ardiyana

No comments:

Facebook Comment