Source Image
Jambakscorner.blogspot.com
Sebuah kekeliruanku memang, saat kekaguman dan kerinduan kubiarkan menyiksa relung hati. Hingga ia ku jadikan sosok tempat terindah yang kumiliki walau aku tak pernah menyapanya sebagai kekasih. Aku terlalu larut dalam kekagumanku hingga ia benar-benar pada titik dimana aku harus benar-benar pergi dan meninggalkan semua yang menyertainya. Kini yang akan kulakukan adalah menenggelamkan seluruh hidupku kedalam sunyi.
Tiba-tiba sebuah seruan membuyarkan lamunanku.
“Joko, itu kamu?” tanya seorang wanita yang dulu pernah membuatku separuh gila. “hahaha, ku kira kau sudah lupa” aku tertawa menahan gejolak yang menyesakkan. Masih pada senja kami bercakap-cakap. Kupandangi wajahnya yang tak terlalu berbeda semenjak kami sama-sama lulus menjadi sarjana pendidikan. Raut wajahnya masih menceritakan bagaimana aku pernah menggambarkanya sebagai semesta. Sebagai rerimba yang misterius ataupun sebagai samudra yang menyimpan sejuta makna.
Pencarianku berakhir pada cahaya yang tumpah ruah di matanya. Warnanya coklat kemerahan. Seolah mengembalikan sepotong episode masa lalu. Aku tahu bukan dalam cerita aku menyapanya. Bukan dalam ungkapan suka cita. Bukan pada malam purnama yang digelayuti gerimis. Aku menemuinya pada sajak yang utuh.
Sampai kulayangkan pandang pada bangku yang kutemui di seberang senja di bibir pantai Parangtritis. Butiran pasir dan beberapa debur ombak sesekali menyapu dan hinggap di kaki kami. Memang kini aku tak sendirian menikmati senja namun kehadiran wanita itu justru merambah pada kesunyian. Raut seorang pria yang sejak dari tadi membisu dalam perbincangan kami sepertiya sudah tidak asing lagi. Ya tentu saja. Dia teman sekelasku dulu waktu kuliah. Teman yang aku kenalkan pada wanita yang mampu menyiksaku dengan rasa rindu. Teman yang menjadi pendamping hidupnya sekarang hingga mereka dikaruniai seorang bayi laki-laki yang penuh pesona seperti ibunya.
Entah karna udara yang dingin, entah karna memang matahari hampir tenggelam namun sapaan itu mengingatkanku pada kisah-kisah para pengecut yang tak berani mengutarakan pendapatnya, mengutarakan kebenaran.
Senja telah aku lewati dan sebentar lagi akan ada drama tentang malam. Tentang keberadaanku yang sebengis kematian atau memang aku yang membiarkan waktu untuk membakar wajahku pada siang yang terik. Aku lengah pada hidupku, aku lengah dan lelah. Hingga tiada keindahan yang tepat aku singgahi kecuali kesendirian dalam senja yang hampir tenggelam.
Source: copas tanpa izin, dari akun kompasiana Arif Ardiyana
No comments:
Post a Comment